Search This Blog

Friday 30 September 2011

Maroko merupakan negara Arab pertama berteknologi canggih




Jakarta, PIM
Tangier (Maroko) - HM Raja Mohammed VI kembali menunjukan eksistensinya dalam membangun Maroko. Raja yang sangat dicintai rakyatnya ini, Kamis (29/9/2011) bersama Pangeran Moulay Rachid, dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, serta HRH Pangeran Megren Bin Abdulaziz Al-Saud meluncurkan membangun stasiun kereta api berkecepatan tinggi area Tangier-Ville, yang akan menghubungkan Tangier ke Casablanca. Proyek ini bernilai 20 milyar Dirham (€ 1,8 milyar euro).


Ini akan menjadikan Maroko Negara Afrika dan dunia Arab pertama yang memiliki “teknologi canggih” transportasi kereta api listrik.

Rel kereta api tercepat yang menghubungkan Tangier-Casablanca merupakan proyek penataan yang akan memberikan kontribusi memperkuat dan meningkatkan jaringan transportasi di Maroko, dan merupakan bagian dari kebijakan luas proyek kerajaan.


Dalam sambutannya, Menteri Peralatan dan Transportasi Maroko , Karim Ghellab, memberikan presentasi tentang pentingnya proyek penataan ini yang akan memberikan kontribusi memperkuat dan meningkatkan transportasi jaringan listrik di Maroko, dan ini bagian dari kebijakan luas proyek Kerajaan.



Ghellab mengatakan bahwa link ini adalah tahapan pertama perencanaan andalan mengenai kereta api tinggi berkecepatan tinggi yang telah dipersiapkan dari tahun 2006 lalu. Pembangunan 1.500 km link baru, yang nanti akan menjadi sumbunya samudra Atlantik: Tangier-Casablanca-Marrakesh-Agadir, dan salah satunya Maghreb : Rabat-Fez-Oujda.

Dalam tahapan ini, diharapkan akan beroperasi pada Desember 2015. Proyek ini akan memenuhi permintaan transportasi kereta api antara Casablanca dan Tangier (70% antara 2002 dan 2009).
Proyek yang memakan dana €1.8 milyar euro akan dibiayai negara Maroko: € 414 juta, Dana Hassan II untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial : € 86 juta, Perancis : € 920 juta, Dana Saudi untuk Pembangunan : € 144 juta, Dana Kuwait untuk Pembangunan Ekonomi Arab : € 100 juta, Dana Abu Dhabi untuk Pembangunan : € 70 juta dan Dana Arab untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial : € 66 juta.

Selama tahap operasional, proyek ini diharapkan dapat menghasilkan 30 juta hari kerja selama tahap pembangunan, dan 2500 lapangan kerja langsung dan tidak langsung. Setelah itu, kesepakatan mendirikan sebuah institut untuk pelatihan dalam profesi rel antara perusahaan kereta api Maroko (ONCF) dan mitra Perancis (SNCF).



Modified : Jumat, 30 September 2011
Sumber: Berita Nasional Maroko “Map”

Marrakash Square di Bekasi, inspirasi interior dari Maroko







Sejarah baru Dua Dubes bertemu di Gala Dinner


Foto: Tosari Wijaya bersama Mohammad Madji

Thursday 29 September 2011

Asosiasi Istri Diplomat Maroko Belajar Darma Wanita di Kemlu Jakarta


Foto: Wanita Maroko dan Wanita Indonesia
Foto: Ibu Moelik T Wibowo dan Madam Saida Bennnan
PIM (Jakarta), Sebanyak 13 orang istri dan mantan istri diplomat Maroko tiba di Indonesia dalam rangka kunjungan wisata sambil belajar ke negeri ini. Datangnya delegasi tersebut semakin memperkuat hubungan Indonesia dan Maroko. Ini merupakan kunjungan pertama delegasi asosiasi istri para dubes/diplomat Maroko  ke Indonesia.

Delegasi Asosiasi Istri Duta Besar dan Diplomat Maroko, terdiri dari Madam Saida Bennnani, President of the Association of Spouses of Ambassadors of Moroccan Diplomatic, Madam Chrifa El Amrani, Madam Maria Bouchaara, Madam Habiba Sebti, Madam Kenza Filali, Madam Toumader Khatib, Madam Majida Doukkali, Madam Zineb Ismaili Idrissi, Madam Nezha Bennani, Madam Latifa Hamayed El Mili, Madam Faiza Benbrahim, Madam Aicha El Kabbaj, dan Madam Hafida Berdey. Selama kunjungan yang dimulai sejak hari Jumat lalu, para istri diplomat tersebut juga melakukan kunjungan persahabatan ke organisasi Darma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri, yang dilangsungkan di Hotel Borobudur Jakarta, Sabtu (5/2/2011) sore.

Dalam pantauan pewarta PPWI ( Persatuan Pewarta Warga Indonesia ) yang turut hadir di sana, suasana terjalin dengan sangat akrab antara kedua organisasi istri para pejabat negara Maroko dan Indonesia.

“Asosiasi ini tertarik datang ke Indonesia murni berkunjung wisata sekalian belajar dan sharing pengalaman tentang keorganisasian Darmawanita para istri diplomat Indonesia, mengingat usia organisasi mereka baru berjalan 2 tahun ini terbentuk,” kata ketua organisasi Darma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri (DWP KEMLU) ibu Moelik T Wibowo kepada PPWI disela-sela pertemuan tersebut.

Ketua Asosiasi Maroko Madam Saida Bennnani menjelaskan, sudah 50 tahun mereka punya diplomatik club tapi beranggotakan bapak-bapak beserta pasangannya, diplomamatik wanita dengan pasangannya. “Terus terang mereka belajar kedarmawanitaan, dan ingin seperti kita, seperti mengorganisir para istri diplomat dan para istri ambasador, dan juga menanyakan jenis program-program di tubuh DWP Kemlu,” tambah ibu Moelik yang pagi pagi hari kemarin baru saja melaksanakan kegiatan tanam pohon.

Asosiasi juga ingin banyak mengetahui tentang Indonesia, walau sebenarnya beberapa di antara anggota asosiasi sudah mengetahui banyak tentang Indonesia. Merekapun sesungguhnya tidak merasa asing berada di Indonesia mengingat hubungan dan sejarah Indonesia begitu erat di mata mereka. Kepala negara RI pertama, Ir Sukarno, pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Maroko. Kedekatan itu diabadikan, terbukti hingga kini di Maroko di pusat pemerintahan dikota Rabat, ibukota negeri muslim di Afrika utara itu juga ada jalan yang terpelihara dengan baik yakni Jalan Soekarno. Jalan Jakarta dan Jalan Bandung. (Popi Rahim)


Wednesday 28 September 2011

Pemberian Hadiah di Gala Dinner












The Jakarta Post: Kebebasan Demokrasi, Maroko Menjadi Pengecualian


Jakarta - Sebagai Revolusi Jasmine, yang dimulai di Tunisia, menyebar seperti api di seluruh dunia Arab yang tidak stabil, bisa dipertanyakan, apakah ada negara di wilayah yang kebal terhadap politik tsunami?
Jawabanya ya, untuk sebagian besar, memang salah satu negara yakni Maroko, kata sekelompok orang dari Indonesia, Timor Leste dan AS yang tergabung di bawah bendera “ Sahabat Maroko (Friends of Maroko), di Jakarta pada Senin malam (7/3/2011). 
Kutipan artikel yang telah saya terjemahkan ini, ditulis oleh Veeramalla Anjaiah, The Jakarta Post, Jakarta, dengan judul “ More freedom, democracy  make Marocco an exception”, Rabu (9/3/2011) kemarin.

Diktator di Tunisia dan Mesir telah jatuh ke murka protes massa. Kediktatoran semakin banyak di banyak negara yang tertatih-tatih di tepi jurang. Sejauh ini, Maroko telah banyak terhindar dari pemberontakan tersebut. Mengapa?

“Maroko berbeda dari yang lain, kami memiliki pupuler monarki serta multi-partai demokrasi, “kata Duta Besar Maroko untuk Indonesia Mohamed Majdi kepada The Jakarta Post, di sela-sela pertemuan tersebut.
“Kami tidak memiliki kediktatoran di Maroko. Kami memiliki lebih banyak kebebasan dan pemerintah kami berkomitmen untuk nilai-nilai universal seperti demokrasi, hak asasi manusia, toleransi beragama, kesetaraan dan keadilan, “kata Majdi.

Seorang peserta Amerika dengan tegasnya memberikan pandangan serupa. “Maroko mungkin merupakan sebuah negara Islam dan Arab, tetapi merupakan negara bebas seperti AS dan Indonesia. Rakyat Maroko sangat mencintai raja mereka, “kata J. Phillip dipertemuan tersebut, yang pernahberkunjung ke Maroko.
Ketika ditanya tentang mengapa Maroko telah terhindar dari kerusuhan yang bergolak di Afrika Utara, Majdi mengatakan, gerakan untuk perubahan di Maroko dimulai lebih dari satu dekade yang lalu. “Seperti Indonesia, kami di Maroko memulai reformasi kami pada tahun 1998. Raja kami dan pemerintah telah menangani masalah yang diangkat hari ini oleh pemuda Arab di beberapa negara, “kata Majdi. “Kami berada dalam transisi seperti Indonesia.”
Dengan rendah hati, ia mengakui bahwa Maroko tidak bebas dari masalah. “Saya tidak mengatakan kami tidak memiliki masalah. Seperti negara berkembang, kita menghadapi masalah-masalah seperti kemiskinan, keterbelakangan, kesehatan,infrastruktur dan pengangguran, “kata Majdi. “Kami telah terus membuat kemajuan dalam menangani isu-isu ini,” kata Majdi.

Pada puncak pemberontakan pemuda Arab, ada protes damai besar-besaran, kecuali satu insiden di bagian utara negara itu, di kota-kota beberapa Maroko pada 20 Februari lalu,menuntut berbagai reformasi konstitusional. Tapi Raja Mohammed VI bukan sasaran demonstrasi. Konon ini adalah karena di Maroko, sebagian besar 32 juta Maroko, termasuk kedua belah pihak yang berkuasa dan oposisi, mencintai raja mereka.

“Maroko tidak mengandung seorang Maroko tanpa monarki, mereka melihatnya sebagai jaring pengaman, “kata Storm Lise, dosen senior di urusan Timur Tengah di Inggris Universitas Exeter University, kepada Reuters baru-baru ini.


Prof Philip: Maroko, Negara Muslim Afrika yang Berbeda

Foto: Prof. Phillip

PIM
Jakarta - Mencermati gejolak politik yang hebat di Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini, banyak pihak yakin bahwa hal itu tidak akan berdampak banyak ke Negara Maroko, salah satu negara di Afrika Utara yang berbatasan langsung dengan Aljazair. Prof. Dr. Philip, seorang penasehat kongres Amerika Serikat juga meyakini hal yang sama. Dia berpendapat bahwa Maroko sangat berbeda dengan negara-negara tetangganya yang sedang dilanda demonstrasi besar-besaran menuntut pengunduran diri para pemimpin mereka.

“Ketika 15 tahun yang lalu saya mengunjungi negara itu, saya masih ingat, saat mengijakkan kaki di tanah Maroko, saya terpana, wah… ini jauh sekali dari apa yang saya tahu selama ini,” ujar Philip saat memberikan keterangannya tentang Maroko dan pergolakan di Afrika Utara dalam suatu jumpa pers beberapa waktu lalu di  Jakarta, Senin malam (7/3/2011). 

Sebagaimana diketahui, Maroko merupakan bekas jajahan Spanyol dan Perancis, membuat rakyat Maroko sungguh berbeda dengan masyarakat benua Afrika lainnya. Mereka umumnya berkulit putih seperti bangsa Eropa, hidung mancung, bola matanya hitam dan biru serta berperawakan seperti halnya bangsa-bangsa Asia umumnya.

“Negara Maroko ini bukan seperti negara-negara Afrika yang banyak kita kenal selama ini. Lebih banyak menganut sistim seperti Spanyol,” imbuh Philip.

Philip yang tidak fasih berbahasa Indonesia mengaku semakin penasaran. Ternyata di Maroko orang sangat menikmati hidupnya karena raja sangat peduli kepada rakyat. “Saya bisa menari dan bernyanyi dengan bebasnya seperti di Hawaii, Amerika Serikat negara saya,” katanya dalam bahasa Inggris.

Ia menambahkan juga, “Sebagai orang kristen, saya juga bisa ke gereja dengan bebas. Sungguh luar biasa, terlihat hubungan antar umat beragama terjaga dengan sangat baik.” Hal ini diaminkan oleh Duta Besar Maroko, Mohamed Majdi, dan Ketua Sahabat Maroko Teguh Santosa yang melakukan kajian penelitian khusus tentang Maroko beberapa tahun lalu.

Di Maroko, pendidikan merupakan hal utama. Berdasarkan hasil verifikasi lapangan yang dilakukan penulis tahun lalu di Maroko, melalui berbagai ragam program pihak Kerajaan Maroko memberikan fasilitas pendidikan gratis kepada seluruh rakyatnya, sekolah gratis hingga jenjang S-3 di universitas.
Melihat kondisi ril di Maroko, Philip yakin negara tersebut tidak akan terkena imbas dari gempa politik yang terjadi di negara-negara tetangganya. “Raja tahu apa yang diinginkan rakyatnya, karena itu ia dicintai rakyatnya,” ungkap Philip.

Selain itu, seperti banyak diketahui, raja-raja Maroko seperti King Muhammad VI menyelesaikan pendidikannya di Eropa dan menguasai 4 bahasa lainnya. Maka tidak heran jika sistim pemerintahan demokrasi yang dianut oleh bangsa-bangsa Eropa sudah dikembangkan di Maroko sejak pemerintahan King Muhammad IV.

Hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko sudah 50 tahun terjalin. Kepala negara pertama yang mengunjungi Maroko setelah kemerdekaannya adalah Presiden I Republik Indonesia, Soekarno di tahun 1960. Persahabatan itu diabadikan pada nama beberapa jalan di jantung kota Rabat, ibukota negara Maroko, diantaranya Jl. Soekarno, Jl. Jakarta, Jl. Bandung yang masih masih terawat baik hingga saat ini.




Keterangan foto: Prof. Dr. Philip, penasehat kongres Amerika Serikat



Aksi Peace March terbesar di abad 20 ” Maroko dan Cina ”


Foto: Green March

PIM, Maroko hari Sabtu (6/11/2010)  tahun lalu, kembali merayakan Green March yang ke “35 tahun” mengingat  kembali memori kita tentang sejarah penting  perjalanan politik  Maroko.

Melalui wawancara khusus penulis dengan Dr. Elmostafa Rezrazi  Ph.D. The University of Tokyo di Jakarta Minggu (7/11/2011) lalu menjelaskan, bahwa makna dari Green March adalah salah satu aksi langkah sejarah Maroko terbesar  pada 6 November 1975 dalam  merebut kemerdekaan provinsi Sahara dari penjajahan Spanyol.Dengan cara king Hassan II menghimbau inisatif rakyat untuk perdamaian hanya dengan  “ bendera dan alquran “, dimana aksi perjalanan 50.000 orang secara sukarela datang dari 350.000 keluarga untuk berekspresi,yang mayoritas mereka tinggal di Maroko.Pada akhirnya Spanyol mengembalikan teritorial Sahara Barat ke pangkuan Maroko.

Dr.Elmostafa Rezrazi juga menerangkan,dalam hubungan internasional bahwa Green March sangat penting dalam sejarah modern ini.

Pertama, menyampaikan bagaimana wilayah teritorial Maroko menjadi konsep manusia seterusnya secara bersama.Ketika king  Hassan II menghimbau tentang Green March tidak butuh waktu lama untuk mempersiapkan itu, semua  rakyat dan organisasi bergerak dengan cepat membalas himbauan tersebut.
Kedua,saat itu Maroko sangat berkuasa penuh di seluruh negeri.Dalam aksi Green March,Maroko bisa saja mengoperasikan militer dengan cepat,tapi Maroko mengunakan Green March untuk menyampaikan pesan bahwa pragmatis Maroko adalah soft power (sangat lembut) dan penting sekali memperhatikan keamanan.



Foto: DR. Rezrazi Elmostafa

Green March  dari pandangan politik internasional adalah suatu aksi memperoleh wilayah dengan memperhatikan segi keamanan dan keselamatan sekitarnya.Maroko tidak ingin berlaku tidak baik dengan negara tetangga makanya dia memilih cara penyelesaian konflik penuh damai.

Dalam bahasa inggris, green itu adalah damai dan dalam bahasa arab Green March, Red March, Black March berarti penuh damai dalam mempartahankan tanah air.

Seperti diketahui rakyat mengusung Green March hanya menggunakan alquran dan bendera,tanpa  kata-kata juga militer.Sebagai rakyat,kita mencoba merebut apa yang dimiliki ,makanya ketika mereka datang kesana langsung  shalat bersama di tanah tersebut untuk mendapatkan kembali provinsi bagian selatan itu.

Ketiga,aksi Green March diharuskan juga hukum internasioanl mempertimbangkannya, karena pernyataan  datang dari Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa -Bangsa ).
Hanya ada 2 Green Peace terbesar di zaman modern abad 20 ini yakni, Cina map ” Mao Tse-Tungmemimpin partai Komunis ke puncak kekuasaan di Cina, dan dalam jangka masa 27 tahun sesudah memegang kendali pimpinan, perubahan-perubahan menakjubkan dan berjangka jauh terjadilah dalam sejarah suatu bangsa yang begitu besar jumlahnya.


Yang lainya “Green March “(peace march) Maroko dalam meraih keutuhan miliknya, "kata Elmostafa The Afro-Asia Forum for Development and Human Security.

Maroko menganut  langkah pragmatis yang sangat lembut dalam merebut  kemerdekaan yang didapat dari Perancis sejak akhir 1950.Setelah itu mendapatkan kembali secara internasional kota Tanjir dan Sidi Ifni.

Sampai sekarang kemerdekaan kami masih belum berakhir karena ada kota kami yakni Setta dan Medina di bagian utara Maroko belum merdeka.

Menurut Dr.Elmostafa Rezrazi The Moroccan Association for Asian Studies. Rabat menguraikan, banyak orang tidak tahu bahwa pergerakan maroko dalam merebut teritorial kenyataannya ada 3 dasar yakni, yang pertama perundingan ICJ (International court of justice) yg membuktikan  bahwa sejarah jelas ada hubungannya antara maroko dan teritorial sahara bagian selatan.

Yang kedua, perjalanan  Madrid antara Maroko dan penjajahan spanyol menemukan teritorial Maroko bagian dari Mauritania.


Dan yang terdalam adalah Green March,fakta dari semua ini telah merubah sejarah Maroko,peristiwasukses karena Maroko menemukan kemerdekaan negaranya.
Sekarang bagaimana meraih susunan perjanjian politik dengan gerakan polisario.Kita telah bernegosiasi lebih hampir 3x dan dengan mengajukan proposal rancangan otonomi maroko secara berdialog. Sayangnya,dalam semua upaya ini memerlukan waktu.

Seperti diketahui bahwa Indonesia salah satu negara yg paling mengerti tentang ini karena satu telah memberikan kemerdekaan terhadap Timor Timur dan kedua pengalaman sukes otonomi di Aceh. Rakyat bisa mengerti dengan baik kemungkinan bagaimana disana ada beberapa perbedaan di strukturnya.
Opini saya (Elmostafa ), itu tidaklah sama Timor Timur dengan Sahara, ini dua perkara sama sekali berbeda,mungkin Sahara lebih condong seperti Provinsi Aceh.Kami berharap tentunya dari opini publik internasional dari banyaknya wartawan dunia mengharapkan dukungan inisiatif Maroko itu .




Indonesia Mendukung Inisiatif Otonomi Maroko sebagai Solusi yang “PAS” atas Isu Sahara

Foto: Muhammad Nadjib

PIM, Rabat ( Maroko ) - Indonesia mendukung inisiatif otonomi Maroko sebagai solusi yang “pas”dalam isu Sahara sesuai kerangka kerja PBB (Perserikatan Bangsa -Bangsa ).

Hal itu dikemukakan oleh Wakil ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Muhammad Najib 3 hari kunjungannya di Maroko , setelah pertemuanya  dengan Deputi Kedua Parlemen Maroko, Nourredine Moudiane Senin 27/9/2010.

Najib yang didampingi oleh Dubes RI Tosari Wijayamemberikan pernyataan menjelang pelaksanaan Seminar yang bertema “Peran Parlemen untuk Meningkatkan Hubungan dan Kerjasama Maroko - Indonesia  untuk Kesejahteraan Rakyat“, bahwa Indonesia akan  berupaya mendukung otonomi Maroko sesuai PBB dan organisasi internasional lainnya.

Di tengah acara yang diikuti oleh anggota BKSAP Parlemen kedua negara, kalangan cendekiawan, Rektor Universitas, dan para pengusaha Najib menekankan hubungan politik Maroko antara Indonesia adalah istimewa dan mengungkapkan kesediaan Indonesia untuk meningkatkan hubungan ekonomi.

Sementara itu, Moudiane mengatakan dalam pertemuan ini  merupakan kesempatan untuk membahas  sarana dalam meningkatkan kerjasama antar kedua negara di bidang politik, ekonomi dan agama.
Dalam hal ini, dia katakan untuk mempromosikan pertukaran kunjungan antar anggota badan legislatif kedua negara serta  mendorong inisiatif yang berkaitan dengan kelompok persahabatan parlemen Maroko-Indonesia.



Tuesday 27 September 2011

Drama Klasik Ande-Ande Lumut Mampu Menarik Perhatian Maroko


Foto: Pementasan di Maroko

KBRI Rabat Maroko - Persahabatan suatu negara dibidang seni budaya dapat mempererat hubungan antar negara. Setelah setahun sebelumnya sukses mementaskan drama klasik Ramayana, Sabtu (23/4/2011) jam 10.30 dan 16.30 waktu setempat, drama legenda Jawa Klasik Ande-ande Lumut berhasil menyita perhatian penonton di Gedung Teater Qa’atu al Maarad Kota Taza Maroko. Acara yang dipandu oleh KBRI Rabat ini, merupakan partisipasi pada program tahunan Kementerian Kebudayaan Maroko yang dikemas dalam Festival Teater Internasional Pemuda ke-12 di kota Taza (330 km dari ibu kota Rabat) 21 - 23 April 2011.

Suksesnya “Ande-ande Lumut Harumkan Nama Indonesia di Maroko”, KBRI diminta tampil 2 kali. Itu permintaan panitia dan antusias penonton yang sangat tinggi yang memadati ruangan, berkapasitas lebih dari 500 orang. Terlihat para penonton sangat antusius mengikuti alur cerita, hingga ruangan penuh sesak hingga mereka rela berdiri demi menyaksikan drama tersebut .

Seluruh dialog dan narasi drama ini, diformat dalam bahasa Arab. agar mudah dicerna oleh penonton dari kalangan anank-anak dan remaja. Drama berdurasi 50 menit ini, diperankan baik oleh 12 pemain yang terdiri dari staf KBRI dan keluarga serta mahasiswa yang dilatih selama 2 bulan dengan bantuan Dharma Wanita Persatuan KBRI Rabat.

Legenda Ande-ande Lumut menceritakan tentang kisah seorang pangeran dari Kerajaan Kediri, Jawa Timur bernama Kasumayuda yang sedang mencari gadis pujaan hati, akan dipersunting sebagai istrinya. Pernikahannya dengan Kleting Kuning pada akhirnya diketahui sebagai salah seorang putri dari Kerajaan Benggala, menjadi sebab bersatunya kembali dua Kerajaan Jenggala dan Kediri yang sebelumnya terpecah.

Kostum Kerajaan Khas Jawa, didominasi warna merah tua dengan sisipan keris di punggung Pangeran Kasumayuda, lenggak-lenggok dan gaya merayu Kleting Merah, Hijau dan Biru dengan balutan kebaya dipadu dengan batik lengkap dengan aksesorisnya, serta background pintu gerbang Kerajaan Kediri menjadi daya tarik tersendiri pada pementasan drama tersebut.Kepiawaian Yuyu Kangkang, si kepiting raksasa penjaga sebuah sungai menggoda dan merayu para kleting semakin menghangatkan suasana dan mendapat sambutan meriah dari para penonton.

Kegiatan Festival Teater Internasional Pemuda ke-12, adalah program tahunan yang diselenggarakan Kementerian Kebudayaan Maroko melalui instruksi langsung Raja Mohammed VI, bekerjasama dengan Yayasan Friendly Kota Taza sebagai ajang pertukaran informasi dan pengalaman, budaya dan tradisi antar sesama negara sahabat. Selain Indonesia, sejumlah negara asing ikut berpartisipasi antara lain; Arab Saudi, Amerika Serikat, Tunisia, Irak, Pantai Gading, Sudan, Burkina Faso, Azarbaijan, Austria, Senegal dan tentunya Maroko sebagai tuan rumah.

Media massa setempat, seperti Radio Television du Maroc, RTM dan TV 2M merespon positif acara itu. Para wartawan juga sempat mewawancarai para peserta festival. Usai pementasan drama, disaat acara ramah tamah Ketua Panitia Pelaksana Festival Teater Internasional Pemuda ke-12, Mrs. Ratiba, menyampaikan terima kasih kepada bangsa Indonesia dan berharap semoga kerjasama kedua negara, khususnya di bidang seni dan budaya dapat ditingkatkan di masa yang akan datang. KBRI juga menyampaikan terima kasih kepada panitia karena untuk kedua kalinya telah mengundang Indonesia untuk berpartisipasi kegiatan tersebut.

Selain itu, KBRI juga siap untuk melaksanakan kolaborasi di bidang kesenian dengan pihak Kementerian Kebudayaan Maroko, serta akan terus berpartisipasi dalam festival yang sama di masa mendatang, tentunya dengan penampilan seni dan budaya Indonesia lainnya sebagai ajang promosi Indonesia kepada khalayak Maroko dan mempererat kerjasama kedua negara.


Maroko dan Indonesia Seperti Dua Saudara


Perjalanan Penulis 5-19 Juni 2010 ke Kerajaan Maroko untuk menyaksikan dari dekat keadaan negara sahabat di Benua Afrika bagian utara itu.


Hubungan Indonesia-Maroko telah terjalin sejak pertengahan abad 14 Masehi ketika musafir terkenal Ibnu Battutah melakukan perjalanan dari Maroko menuju Mesir, India, dan akhirnya tiba di Indonesia di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Begitu juga Maulana Malik Ibrahim, salah satu sesepuh Wali Songo, yang lebih dikenal dengan nama “Syeikh Maghribi” juga datang dari negara ini. Pada zaman modern, hubungan diperkuat lagi. Tahun 1955 Maroko turut aktif berperan di Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat.

Tanggal 2 Maret 1956, Maroko merupakan salah satu negara pertama di Afrika Utara yang meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis. Empat tahun kemudian, 2 Mei 1960, Presiden Soekarno tiba di kota Rabat bertemu Raja Muhamad V. Soekarno merupakan presiden pertama yang datang ke negara itu. Ini awal hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko. Presiden Soekarno juga dianggap sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Makanya terdapat Rue Sukarno atau Jalan Sukarno di Maroko.

"Di universitas, kami belajar tentang Indonesia, misalnya ekonomi. Masyarakat Maroko selalu mengatakan bahwa Maroko dan Indonesia likes two brother (seperti dua saudara),” ucap salah satu staf konsuler Maroko untuk Indonesia.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Maroko, Tosari Wijaya, potensi alam Maroko sama luar biasanya dengan Indonesia, cuma beda karakter saja. Di Indonesia keindahan alam dibentuk alam itu sendiri, sedangkan di Maroko alamnya yang indah dibentuk oleh perkembangan peradaban. “Sejarah perjalanan Afrika, khususnya di utara, banyak peninggalan menabjubkan,” kata Tosari yang memulai tugasnya 22 Februari 2010.


Maroko memiliki alam yang subur, hijau, dan terdapat perngairan di mana-mana. Pelancong mancanegara kerap tercengang menyaksikan kesuburan tanah Maroko.


Pemerintah Maroko memberikan perhatian besar terhadap penghijauan wilayah. Masyarakat Maroko tidak ada yang menebang pohon tanpa izin dari pemerintah. Jika ada yang melanggar aturan tersebut, sanksinya berat, harus membayar denda dan wajib menanam kembali pohon-pohon yang telah ditebang.

Di Marakes, sebuah kota wisata, rumah penduduk umumnya merah bata. Di perbukitan yang menuju Pegunungan Atlas tampak bangunan rumah-rumah berdiri kokoh seolah menyatu dengan alam. Masyarakat sangat menjaga kelestarian lingkungannya. Air sungai yang bening, konon bisa diminum langsung tanpa dimasak dulu. Tempat-tempat sejarah dirawat dan dijaga seperti Palais Bahia dan Palais Bad II di Marakes.

Sepanjang perjalanan dari Casablanca menuju Marakes di musim panas ini terlihat lahan-lahan usai panen, misalnya panen gandum. Gandum dimuat di gerobak yang ditarik keledai, bukan sapi atau kuda seperti Indonesia.

"Keledai binatang yang tidak suka melawan dan harganya juga lebih murah dibanding kuda,” kata Nassim, protokoler yang mendampingi perjalanan.

Pasar tradisional sangat dijaga di Maroko. Jarang dijumpai pasar modern seperti Carrefour. "Di Maroko keberadaan pasar tradisional dilindungin raja,” kata Nyonya Mahsushoh Tosari Widjaya.


Kala malam tiba masyarakat Maroko menghabiskan malam seperti di Medina Argana. Pelataran Medina hampir penuh warga dari berbagai penjuru sambil menyantap makanan, berbelanja sembari menikmati suguhan tari-tari tradisional. Maroko punya perjanjian dagang dengan negara-negara Maghribi, Turnisia, Aljazair, Mauritania dan timur tengah. Juga mengikat perjanjian dengan Uni Eropa yang menetapkan Maroko sebagai mitra kerja dan pintu utama ke Afrika.


Tosari Widjaya ingin mendorong Maroko meningkatkan hubungan perdagangan dengan Indonesia. *

Sahara barat tetap dibawah otoritas Maroko.


PIM, (Jakarta), Perjalanan dua minggu penulis dari 5-19 Juni 2010 ke Kerajaan Maroko untuk menyaksikan dari dekat keadaan negara sahabat di Benua Afrika bagian utara itu. Selain cerita keindahan mempersona alam Maroko, juga ada sejarah di Sahara Barat yang masih belum terselesaikan. Masalah sahara Barat ini, ditanggani langsung oleh Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB).

Front Polisario, sekelompok separatis yang mengatas namakan sebagai perwakilan dari orang-orang Sahara (Sahrawi) mengklaim bahwa Sahara Barat bukan milik Maroko. Mereka menginginkan referendum, jelas saja pemerintah Maroko tidak menanggapi. " Kami jelas saja tidak mau memberikan Referendum karena Sahara Barat milik Maroko, kami akan memberikan otonomi yang besar, "jelas Moutafa nakhloui, staff konsuler kedubes Maroko di Jakarta kepada penulis.

Polisario yang bermarkas resmi di Tindouf Aljazair ini, terbukti banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap penduduk kamp Tindouf yang juga dihuni oleh orang Sahrawi.

Hari Sabtu, 24/4/2010 lalu, penulis bertemu langsung dengan Muhammad Burhi, perwakilan polisario di Jakarta. Burhi mengatakan, " Western Sahara in not belongin to Morocco". Inilah awal penulis tertarik mengenal Maroko. Banyak sejarah Indonesia dan Maroko yang terjalin sejak dulu.

Masuknya Islam pertengahan abad 14 masehi di Indonesia dipengaruhi oleh Maroko, dengan masuknya Islam yang dibawa musafir terkenal Ibnu Battutah melakukan perjalanan dari Maroko menuju Mesir, India, dan akhirnya tiba di Indonesia di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Begitu juga Maulana Malik Ibrahim, salah satu sesepuh Wali Songo, yang lebih dikenal dengan nama “Syeikh Maghribi” juga datang dari negara ini. Pada zaman modern, hubungan diperkuat lagi. Tahun 1955 Maroko turut aktif berperan di Konferensi Asia Afrika (KAA)  di Bandung, Jawa Barat.


Bukan itu saja, pidato Soekarno di KAA Bandung tahun 1955, menginspirasi Maroko yang pada waktu itu masih dijajah perancis. Tanggal 2 Maret 1956, Maroko merupakan salah satu negara pertama di Afrika Utara yang meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis. Empat tahun kemudian, 2 Mei 1960, Presiden Soekarno tiba di kota Rabat bertemu Raja Muhamad V. Soekarno merupakan presiden pertama yang datang ke negara itu.

Ini awal hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko. Presiden Soekarno juga dianggap sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Untuk mengabadikan persahabatan diantara kedua negara ini, Maroko membuat nama-nama jalan di pusat jantung kota Rabat dengan nama: Rue Sukarno atau Jalan Sukarno di Maroko, Rue Bandung dan Rue Jakarta.

Perjalanan penulis dari Airport Casablanca Maroko lebih kurang 4 jam perjalanan dengan pesawat menuju Layoune di Sahara Barat. Di sepanjang perjalanan dipenuhi gurun-gurun pasir dan hamparan laut yang bewarna hijau dan biru. Hampir tiap tempat ada foto raja dan bendera Kerajaan Maroko.

Eddahy Elbachir, Sekertaris Jenderal Association Belonging and Development for Human Right and Coexistence (ACAD), mengatakan, Sahara Barat pernah dijajah Spanyol. Tapi, Sahara Barat juga merupakan bagian kerajaan Maroko.

Sebelumnya Polisario, kelompok yang mengklaim sebagai warga Sahara Barat dan ingin memisahkan diri dari Maroko, tidak pernah muncul. Pada tahun 1975 Maroko yang tertindas memperoleh kembali Sahara. Banyak suku tinggal di sana. Kenyataannya mereka setia terhadap pemerintahan Raja Maroko.

Wakil setiap pemimpin suku-suku institusi dari Sahrawi, mereka membuat keputusan yang terbaik, yakni otonomi di bawah integrasi Kerajaan Maroko. Pada dasarnya Polisario adalah suatu grup pelajar yang berseberangan dengan rezim di Maroko. Mereka pergi ke Aljazair dan bermukim di negara itu.

Polisario mulai mengambil orang dari Sahara untuk membuat kehidupan dan membangun kekuatan di kamp pengungsi di mana hak asasi mereka dirampas. Dari Maret 2010 sampai sekarang sudah 800 orang datang dari Tindouf, sebuah tempat pengungsian di Aljazair. Kebanyakan mereka masih sangat muda. Pemerintah Maroko membangun rumah-rumah dan sekolah-sekolah bagi mereka dan memberikan uang saku tiap bulan sampai mereka mendapatkan pekerjaan tetap.

Gubernur Laayoune Mohamed Jalmouss, Gubernur Boujour Najem Abhay, Gubernur Dakha Hamid Chabar, Sekertaris Jenderal Hak Asasi Manusia serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Maroko dan orang-orang yang yang pernah di kamp Tindouf seperti mantan kepala suku dari Polisario yang kembali ke pangkuan Maroko, Ahmadou Ould Souilem, berpendapat sama. Mereka semua mengatakan bahwa orang-orang Sahrawi tetap menjadi bagian dari Maroko.

Terus Membangun
Maroko termasuk negara yang terus membangun. "Secara ekonomi Maroko ini akan setara dengan Eropa," kata Duta Besar Indonesia di Maroko, Tosari Widjaja. Selain itu, kesenian tumbuh subur, begitu juga pendidikan. Di mana-mana ada universitas, disediakan sekolah gratis sampai jenjang S3. “Jadi, kalau ada anak Indonesia mau belajar di sini dia cukup bawa uang untuk makan. Untuk pendidikan tidak usah bayar, gratis,” kata Tosari.

Di negara kerajaan ini ada festival tiap bulan. Semua negara diundang untuk tampil. Salah satunya Festival Ramadhan. Mulai dari festival yang elite sampai merakyat. Semuanya berlogo "pertunjukan musik di bawah raja".
Rakyat Maroko memang sangat menaruh hormat kepada raja. Militernya pun kalau bertemu raja langsung mencium tangan raja. Di seluruh kota ada istana.

Kota Ouarzazate adalah salah satu kota yang sering dikunjungi wisatawan, karena di sini beberapa insan film Holywood memanfaatkan lokasi ini sebagai lokasi shooting. Cuacanya panas dan kering pada musim panas, tapi sangat dingin pada musim dingin dengan salju di puncak gunung Atlas.

Ouarzazate Film Studios menghasilkan banyak produksi film, di antaranya Lawrence of Arabia (1962), Star Wars (1977), The Living Daylights (1987), The Last Temptation of Christ (1988), The Mummy (1999), Gladiator (2000), Martin Scorsese's Kundun (1997), dan Legionnaire (1998). * (Popi Rahim)

Juni 2010 di Maroko

Foto: KBRI Rabat, Maroko (Juni 2010)

Foto: Dubes RI untuk Maroko Tosari Wijaya (Juni 2010)

Foto: Marakesh, Maroko (Juni 2010)



Bongkar Tabir Kejahatan di Kamp Tindouf







Jakarta, PIM
Komite Pengungsi dan Imigran AS (USCRI) membuka tabir kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di kamp pengungsi di Tindouf bagian selatan Aljazair yang berdekatan dengan perbatasan antara Maroko dan Mauritania.
Berdasarkan kesaksian, investigasi, dari beberapa dokumen seperti foto yang sangat dramatis di kamp Tindouf, Direktur USCRI Merrill Smith menemukan bukti pelanggaran HAM di kamp tersebut.

Tindouf adalah kamp pengungsi terbesar yang dihuni orang-orang Sahara, Maroko. Semenjak konflik yang terjadi di pertengahan 1970-an kamp ini dikelola pemerintah Aljazair dan Polisario, sekelompok separatis yang ingin memisahkan diri. Tidak ada kepastian mengenai jumlah pengungsi di kamp tersebut.

Menurut  pejabat Aljazair dan Polisario, jumlah pengungsi mencapai 150.000 jiwa. Sementara menurut pihak Maroko, hanya berkisar 15.000 sampai 50.000 jiwa.

Dalam pembicaraan terakhir yang dilakukan di Manhasset, New York, pada tahun 2008 PBB menilai bahwa otonomi khusus adalah pilihan yang terbaik untuk Sahara. Untuk memperdalam penelitian tersebut, pihak USCRI telah berusaha mendapatkan penjelasan dari pihak Kementerian Luar Negeri Aljazair mengenai topik-topik penting seputar kehidupan pengungsi, seperti pekerjaan, tempat tinggal dan kebebasan untuk berpergian.Tapi sayangnya permintaan itu tidak pernah dipenuhi.

Disebutkan juga oleh UNCRI bahwa kebebasan penghuni untuk bepergian tidak diakui, dan semua penghuni dari kamp yang ingin bepergian di wilayah Aljazair membutuhkan izin khusus yang ditandatangani oleh pemerintah Aljazair dan Polisario. Sementara itu tidak adanya aturan yang jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penghuni yang ingin melakukan perjalanan.

Di samping itu, Kamp Tindouf juga dipenuhi dengan check point pihak militer yang dengan ketat memeriksa penghuni Tindouf. Setiap penghuni Kamp Tindouf tidak memilik hak untuk memperoleh pekerjaan di Aljazair. Mereka dibiarkan hidup tergantung pada bantuan kemanusian yang dialirkan dari berbagai pihak.

Mengutip survei yang dilakukan Revisa Futuro Sahrawi tahun 2006, USCRI mengatakan 9 dari 10 penghuni Tindouf ingin mendapatkan visa untuk meninggalkan kamp itu tapi pemerintah Aljazair berusaha keras untuk menahan.
Poin lain dalam laporan UNCRI menyebutkan bahwa pemerintah Aljazair dan Polisario menggunakan kontainer untuk memenjarakan orang-orang yang ingin kembali ke Maroko. Ini juga menurut pengakuan dari Aboh Sghair dan istrinya yang sempat ditahan selama 3 bulan di wadah Rebouni ketika berusaha meninggalkan Tindouf.

UNCRI juga mengambarkan rumah tahanan yang disediakan khusus untuk wanita hamil di luar nikah. Mereka dihukum karena dituduh melakukan tindakan perzinahan dan homoseksual. *

Modified: Rabu, 30 September 2011
Artikel ini pernah dipublikasikan di Koran Buana Mandiri tanggal 20 Februari 2010
http://www.aksindo.org/modules/article.php?id=642


Pertemuan dengan Polisario di Jakarta

Foto: Muhammad Buhri


Pertemuan penulis, Sabtu, tanggal 24 April 2010 dengan Muhammad Buhri, perwakilan Polisario di Indonesia dan Asia Tenggara di Komnas Ham Jakarta.