Search This Blog

Tuesday 27 September 2011

Sahara barat tetap dibawah otoritas Maroko.


PIM, (Jakarta), Perjalanan dua minggu penulis dari 5-19 Juni 2010 ke Kerajaan Maroko untuk menyaksikan dari dekat keadaan negara sahabat di Benua Afrika bagian utara itu. Selain cerita keindahan mempersona alam Maroko, juga ada sejarah di Sahara Barat yang masih belum terselesaikan. Masalah sahara Barat ini, ditanggani langsung oleh Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB).

Front Polisario, sekelompok separatis yang mengatas namakan sebagai perwakilan dari orang-orang Sahara (Sahrawi) mengklaim bahwa Sahara Barat bukan milik Maroko. Mereka menginginkan referendum, jelas saja pemerintah Maroko tidak menanggapi. " Kami jelas saja tidak mau memberikan Referendum karena Sahara Barat milik Maroko, kami akan memberikan otonomi yang besar, "jelas Moutafa nakhloui, staff konsuler kedubes Maroko di Jakarta kepada penulis.

Polisario yang bermarkas resmi di Tindouf Aljazair ini, terbukti banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap penduduk kamp Tindouf yang juga dihuni oleh orang Sahrawi.

Hari Sabtu, 24/4/2010 lalu, penulis bertemu langsung dengan Muhammad Burhi, perwakilan polisario di Jakarta. Burhi mengatakan, " Western Sahara in not belongin to Morocco". Inilah awal penulis tertarik mengenal Maroko. Banyak sejarah Indonesia dan Maroko yang terjalin sejak dulu.

Masuknya Islam pertengahan abad 14 masehi di Indonesia dipengaruhi oleh Maroko, dengan masuknya Islam yang dibawa musafir terkenal Ibnu Battutah melakukan perjalanan dari Maroko menuju Mesir, India, dan akhirnya tiba di Indonesia di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Begitu juga Maulana Malik Ibrahim, salah satu sesepuh Wali Songo, yang lebih dikenal dengan nama “Syeikh Maghribi” juga datang dari negara ini. Pada zaman modern, hubungan diperkuat lagi. Tahun 1955 Maroko turut aktif berperan di Konferensi Asia Afrika (KAA)  di Bandung, Jawa Barat.


Bukan itu saja, pidato Soekarno di KAA Bandung tahun 1955, menginspirasi Maroko yang pada waktu itu masih dijajah perancis. Tanggal 2 Maret 1956, Maroko merupakan salah satu negara pertama di Afrika Utara yang meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis. Empat tahun kemudian, 2 Mei 1960, Presiden Soekarno tiba di kota Rabat bertemu Raja Muhamad V. Soekarno merupakan presiden pertama yang datang ke negara itu.

Ini awal hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko. Presiden Soekarno juga dianggap sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Untuk mengabadikan persahabatan diantara kedua negara ini, Maroko membuat nama-nama jalan di pusat jantung kota Rabat dengan nama: Rue Sukarno atau Jalan Sukarno di Maroko, Rue Bandung dan Rue Jakarta.

Perjalanan penulis dari Airport Casablanca Maroko lebih kurang 4 jam perjalanan dengan pesawat menuju Layoune di Sahara Barat. Di sepanjang perjalanan dipenuhi gurun-gurun pasir dan hamparan laut yang bewarna hijau dan biru. Hampir tiap tempat ada foto raja dan bendera Kerajaan Maroko.

Eddahy Elbachir, Sekertaris Jenderal Association Belonging and Development for Human Right and Coexistence (ACAD), mengatakan, Sahara Barat pernah dijajah Spanyol. Tapi, Sahara Barat juga merupakan bagian kerajaan Maroko.

Sebelumnya Polisario, kelompok yang mengklaim sebagai warga Sahara Barat dan ingin memisahkan diri dari Maroko, tidak pernah muncul. Pada tahun 1975 Maroko yang tertindas memperoleh kembali Sahara. Banyak suku tinggal di sana. Kenyataannya mereka setia terhadap pemerintahan Raja Maroko.

Wakil setiap pemimpin suku-suku institusi dari Sahrawi, mereka membuat keputusan yang terbaik, yakni otonomi di bawah integrasi Kerajaan Maroko. Pada dasarnya Polisario adalah suatu grup pelajar yang berseberangan dengan rezim di Maroko. Mereka pergi ke Aljazair dan bermukim di negara itu.

Polisario mulai mengambil orang dari Sahara untuk membuat kehidupan dan membangun kekuatan di kamp pengungsi di mana hak asasi mereka dirampas. Dari Maret 2010 sampai sekarang sudah 800 orang datang dari Tindouf, sebuah tempat pengungsian di Aljazair. Kebanyakan mereka masih sangat muda. Pemerintah Maroko membangun rumah-rumah dan sekolah-sekolah bagi mereka dan memberikan uang saku tiap bulan sampai mereka mendapatkan pekerjaan tetap.

Gubernur Laayoune Mohamed Jalmouss, Gubernur Boujour Najem Abhay, Gubernur Dakha Hamid Chabar, Sekertaris Jenderal Hak Asasi Manusia serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Maroko dan orang-orang yang yang pernah di kamp Tindouf seperti mantan kepala suku dari Polisario yang kembali ke pangkuan Maroko, Ahmadou Ould Souilem, berpendapat sama. Mereka semua mengatakan bahwa orang-orang Sahrawi tetap menjadi bagian dari Maroko.

Terus Membangun
Maroko termasuk negara yang terus membangun. "Secara ekonomi Maroko ini akan setara dengan Eropa," kata Duta Besar Indonesia di Maroko, Tosari Widjaja. Selain itu, kesenian tumbuh subur, begitu juga pendidikan. Di mana-mana ada universitas, disediakan sekolah gratis sampai jenjang S3. “Jadi, kalau ada anak Indonesia mau belajar di sini dia cukup bawa uang untuk makan. Untuk pendidikan tidak usah bayar, gratis,” kata Tosari.

Di negara kerajaan ini ada festival tiap bulan. Semua negara diundang untuk tampil. Salah satunya Festival Ramadhan. Mulai dari festival yang elite sampai merakyat. Semuanya berlogo "pertunjukan musik di bawah raja".
Rakyat Maroko memang sangat menaruh hormat kepada raja. Militernya pun kalau bertemu raja langsung mencium tangan raja. Di seluruh kota ada istana.

Kota Ouarzazate adalah salah satu kota yang sering dikunjungi wisatawan, karena di sini beberapa insan film Holywood memanfaatkan lokasi ini sebagai lokasi shooting. Cuacanya panas dan kering pada musim panas, tapi sangat dingin pada musim dingin dengan salju di puncak gunung Atlas.

Ouarzazate Film Studios menghasilkan banyak produksi film, di antaranya Lawrence of Arabia (1962), Star Wars (1977), The Living Daylights (1987), The Last Temptation of Christ (1988), The Mummy (1999), Gladiator (2000), Martin Scorsese's Kundun (1997), dan Legionnaire (1998). * (Popi Rahim)

No comments:

Post a Comment