Search This Blog

Tuesday 27 September 2011

Maroko dan Indonesia Seperti Dua Saudara


Perjalanan Penulis 5-19 Juni 2010 ke Kerajaan Maroko untuk menyaksikan dari dekat keadaan negara sahabat di Benua Afrika bagian utara itu.


Hubungan Indonesia-Maroko telah terjalin sejak pertengahan abad 14 Masehi ketika musafir terkenal Ibnu Battutah melakukan perjalanan dari Maroko menuju Mesir, India, dan akhirnya tiba di Indonesia di Kerajaan Samudera Pasai, Aceh. Begitu juga Maulana Malik Ibrahim, salah satu sesepuh Wali Songo, yang lebih dikenal dengan nama “Syeikh Maghribi” juga datang dari negara ini. Pada zaman modern, hubungan diperkuat lagi. Tahun 1955 Maroko turut aktif berperan di Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat.

Tanggal 2 Maret 1956, Maroko merupakan salah satu negara pertama di Afrika Utara yang meraih kemerdekaan dari kolonial Perancis. Empat tahun kemudian, 2 Mei 1960, Presiden Soekarno tiba di kota Rabat bertemu Raja Muhamad V. Soekarno merupakan presiden pertama yang datang ke negara itu. Ini awal hubungan diplomatik Indonesia dan Maroko. Presiden Soekarno juga dianggap sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Makanya terdapat Rue Sukarno atau Jalan Sukarno di Maroko.

"Di universitas, kami belajar tentang Indonesia, misalnya ekonomi. Masyarakat Maroko selalu mengatakan bahwa Maroko dan Indonesia likes two brother (seperti dua saudara),” ucap salah satu staf konsuler Maroko untuk Indonesia.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Maroko, Tosari Wijaya, potensi alam Maroko sama luar biasanya dengan Indonesia, cuma beda karakter saja. Di Indonesia keindahan alam dibentuk alam itu sendiri, sedangkan di Maroko alamnya yang indah dibentuk oleh perkembangan peradaban. “Sejarah perjalanan Afrika, khususnya di utara, banyak peninggalan menabjubkan,” kata Tosari yang memulai tugasnya 22 Februari 2010.


Maroko memiliki alam yang subur, hijau, dan terdapat perngairan di mana-mana. Pelancong mancanegara kerap tercengang menyaksikan kesuburan tanah Maroko.


Pemerintah Maroko memberikan perhatian besar terhadap penghijauan wilayah. Masyarakat Maroko tidak ada yang menebang pohon tanpa izin dari pemerintah. Jika ada yang melanggar aturan tersebut, sanksinya berat, harus membayar denda dan wajib menanam kembali pohon-pohon yang telah ditebang.

Di Marakes, sebuah kota wisata, rumah penduduk umumnya merah bata. Di perbukitan yang menuju Pegunungan Atlas tampak bangunan rumah-rumah berdiri kokoh seolah menyatu dengan alam. Masyarakat sangat menjaga kelestarian lingkungannya. Air sungai yang bening, konon bisa diminum langsung tanpa dimasak dulu. Tempat-tempat sejarah dirawat dan dijaga seperti Palais Bahia dan Palais Bad II di Marakes.

Sepanjang perjalanan dari Casablanca menuju Marakes di musim panas ini terlihat lahan-lahan usai panen, misalnya panen gandum. Gandum dimuat di gerobak yang ditarik keledai, bukan sapi atau kuda seperti Indonesia.

"Keledai binatang yang tidak suka melawan dan harganya juga lebih murah dibanding kuda,” kata Nassim, protokoler yang mendampingi perjalanan.

Pasar tradisional sangat dijaga di Maroko. Jarang dijumpai pasar modern seperti Carrefour. "Di Maroko keberadaan pasar tradisional dilindungin raja,” kata Nyonya Mahsushoh Tosari Widjaya.


Kala malam tiba masyarakat Maroko menghabiskan malam seperti di Medina Argana. Pelataran Medina hampir penuh warga dari berbagai penjuru sambil menyantap makanan, berbelanja sembari menikmati suguhan tari-tari tradisional. Maroko punya perjanjian dagang dengan negara-negara Maghribi, Turnisia, Aljazair, Mauritania dan timur tengah. Juga mengikat perjanjian dengan Uni Eropa yang menetapkan Maroko sebagai mitra kerja dan pintu utama ke Afrika.


Tosari Widjaya ingin mendorong Maroko meningkatkan hubungan perdagangan dengan Indonesia. *

No comments:

Post a Comment