Search This Blog

Tuesday 27 September 2011

Bongkar Tabir Kejahatan di Kamp Tindouf







Jakarta, PIM
Komite Pengungsi dan Imigran AS (USCRI) membuka tabir kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di kamp pengungsi di Tindouf bagian selatan Aljazair yang berdekatan dengan perbatasan antara Maroko dan Mauritania.
Berdasarkan kesaksian, investigasi, dari beberapa dokumen seperti foto yang sangat dramatis di kamp Tindouf, Direktur USCRI Merrill Smith menemukan bukti pelanggaran HAM di kamp tersebut.

Tindouf adalah kamp pengungsi terbesar yang dihuni orang-orang Sahara, Maroko. Semenjak konflik yang terjadi di pertengahan 1970-an kamp ini dikelola pemerintah Aljazair dan Polisario, sekelompok separatis yang ingin memisahkan diri. Tidak ada kepastian mengenai jumlah pengungsi di kamp tersebut.

Menurut  pejabat Aljazair dan Polisario, jumlah pengungsi mencapai 150.000 jiwa. Sementara menurut pihak Maroko, hanya berkisar 15.000 sampai 50.000 jiwa.

Dalam pembicaraan terakhir yang dilakukan di Manhasset, New York, pada tahun 2008 PBB menilai bahwa otonomi khusus adalah pilihan yang terbaik untuk Sahara. Untuk memperdalam penelitian tersebut, pihak USCRI telah berusaha mendapatkan penjelasan dari pihak Kementerian Luar Negeri Aljazair mengenai topik-topik penting seputar kehidupan pengungsi, seperti pekerjaan, tempat tinggal dan kebebasan untuk berpergian.Tapi sayangnya permintaan itu tidak pernah dipenuhi.

Disebutkan juga oleh UNCRI bahwa kebebasan penghuni untuk bepergian tidak diakui, dan semua penghuni dari kamp yang ingin bepergian di wilayah Aljazair membutuhkan izin khusus yang ditandatangani oleh pemerintah Aljazair dan Polisario. Sementara itu tidak adanya aturan yang jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap penghuni yang ingin melakukan perjalanan.

Di samping itu, Kamp Tindouf juga dipenuhi dengan check point pihak militer yang dengan ketat memeriksa penghuni Tindouf. Setiap penghuni Kamp Tindouf tidak memilik hak untuk memperoleh pekerjaan di Aljazair. Mereka dibiarkan hidup tergantung pada bantuan kemanusian yang dialirkan dari berbagai pihak.

Mengutip survei yang dilakukan Revisa Futuro Sahrawi tahun 2006, USCRI mengatakan 9 dari 10 penghuni Tindouf ingin mendapatkan visa untuk meninggalkan kamp itu tapi pemerintah Aljazair berusaha keras untuk menahan.
Poin lain dalam laporan UNCRI menyebutkan bahwa pemerintah Aljazair dan Polisario menggunakan kontainer untuk memenjarakan orang-orang yang ingin kembali ke Maroko. Ini juga menurut pengakuan dari Aboh Sghair dan istrinya yang sempat ditahan selama 3 bulan di wadah Rebouni ketika berusaha meninggalkan Tindouf.

UNCRI juga mengambarkan rumah tahanan yang disediakan khusus untuk wanita hamil di luar nikah. Mereka dihukum karena dituduh melakukan tindakan perzinahan dan homoseksual. *

Modified: Rabu, 30 September 2011
Artikel ini pernah dipublikasikan di Koran Buana Mandiri tanggal 20 Februari 2010
http://www.aksindo.org/modules/article.php?id=642


No comments:

Post a Comment